Author Archive

h1

Teori Tolol

July 17, 2008

Ada sebuah Teori Tolol yang baru saja saya baca dari sebuah artikel di blog orang lain. Kira-kira teorinya menyatakan seperti ini “Kecantikan seseorang berbanding terbalik dengan tingkat intelegensianya”. Arti kasarnya seperti ini: Makin cantik seseorang maka kapabilitas otaknya pun makin jongkok. Anda boleh tidak setuju terhadap teori ini.
Ini adalah teori yang lucu sekaligus kontroversial. Meskipun ada benarnya juga sih. Hehehe… Terkadang saya juga memiliki pemikiran aneh semacam ini karena pengalaman saya sebelum-sebelumnya bertemu teman-teman perempuan yang cantik luar biasa. “Penyakit cewek cantik biasanya lemot” kira-kira seperti itulah hipotesis saya. Lalu apakah ini kemudian memverifikasi teori itu menjadi teori yang absah? Apakah ada korelasi antara wajah dengan kemampuan berpikir secara logika?

Menurut saya kecantikan seseorang dan tingkat intelegensia seseorang mirip dengan bakat. Bakat adalah sesuatu yang given. Sesuatu yang udah dikasih dari sononya dan tidak bisa memilih-milih lagi. Tetapi pilihan kemudian muncul setidaknya setelah dia sadar akan kekurangannya dari dua bakat ini. Pilihan yang dimaksud adalah pilihan untuk saling melengkapi dan meningkatkan salah satu bakat yang menurutnya kurang tersebut. Estimasi saya yah sekitar pasca pubersitaslah. Saya kasih contoh deh.

Sebut saja namanya Anggi (bukan nama sebenarnya). Cewek umur 27 tahun yang sudah merasakan getir dan pahitnya hidup (loh?). Sejak umur 15 tahun, Anggi sudah mulai merasakan perubahan pada torso dan pantatnya yang semakin kencang yang berbeda dengan teman-teman sebayanya. Maklumlah doi kan anggota Cheers di SMU-nya. Fisiknya nyaris sempurna. Dengan tinggi 167 cm, kulit putih mulus dan wajah khas Sunda kontemporer, Anggi sudah pasti menjadi incaran cowok-cowok gatelan di kampusnya. Tetapi sadar bahwa cowok-cowok yang tadinya mengincarnya menjadi dingin, Anggi sadar ada sesuatu yang kurang dari dia. Bagaimana tidak? Hobinya hanya clubbing setiap hari. Setiap diajak ngobrol, Anggi hanya tahu topik yang sekarang hangat di infotainment. Ketika obrolan menjurus ke arah yang lebih serius, Anggi hanya bisa diam dan berkata “YA!” tanpa respon lebih lanjut apalagi terlibat dalam diskusi kritis dengan teman-temannya. Logika berpikirnya tidak jalan, sulit berkonsentrasi dan yang lebih parah lagi she doesn’t even know who the hell is Barack Obama!

Sejak itu, Anggi memilih untuk merubah mindset-nya. Doi sekarang mulai banyak mengasah otaknya dengan banyak membaca koran dan buku, mengisi Teka Teki Silang (TTS), berolah raga, dan menghentikan kebiasaan mengkonsumsi vetsin terlalu banyak. Modalnya pun tidak mahal. Paling banter uang habis untuk beli buku. Anggi dapat menghemat banyak karena sudah mulai mengurangi kebiasaan pergi ke club. Baginya modal utamanya hanyalah tekad. Mata Anggi mulai terbuka lebar dalam menanggapi hidup ini. Doi mulai tertarik banyak bidang yang tidak hanya berbicara tentang gosip-gosip murahan belaka.

Ternyata usahanya tidak sia-sia, cing! Lima tahun berlalu, Anggi kini berhasil meraih gelar Master dalam bidang Manajemen Rekayasa dan Produksi dari sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Bandung dan kini bekerja di sebuah Perusahaan Multinasional di Singapura.

Kesimpulan: Meskipun kemampuan otaknya standar, tetapi Anggi bukanlah orang yang diberi cacat mental dan memiliki otak terbelakang (retarded). Totally Normal! Buktinya dia bisa berkomunikasi dengan orang lain layaknya orang normal. Dia hanya tidak berminat untuk meningkatkan kemampuan otaknya karena sudah terlanjur terlena dengan pujian orang-orang akan wajah cantiknya. Menurutnya kebanggaan dirinya sudah dapat diraih hanya dengan bermodal wajah doang. Apa yang dia lakukan setelah sadar akan kekurangannya itu adalah sebuah konsekuensi logis dari kebebasan untuk menentukan pilihan. Pilihan untuk meningkatkan kemampuan otaknya yang pas-pasan. Pilihan untuk berusaha menemukan anugerah bawaan sejak lahir yang belum dia buka. Meskipun harus bekerja ekstra keras, tetapi hasilnya sudah pasti maksimal. Kini pujian tidak datang hanya karena wajahnya yang cantik, tetapi juga karena prestasi kerjanya di perusahaan tersebut.

Menurut saya, tidak ada alasan seseorang yang lahir normal untuk tidak mau bekerja keras dan belajar. Anggi hanya satu dari ratusan bahkan ribuan perempuan “good looking” lainnya yang hanya tidak memiliki bakat intelegensia yang tinggi namun sukses karena mampu menggunakan kebebasan untuk memilihnya demi meraih kebahagiaan tanpa perlu bantuan orang lain.
Nah, jika melihat kenyataan seperti itu, apakah teori tolol tersebut masih relevan?

h1

Surat Untuk Munarman

June 24, 2008

Ada sebuah tulisan menarik yg saya baca dari sebuah blog milik Yusariyanto. Tulisannya dapat diklik di sini. Intinya Mas Yus ini menulis surat untuk Munarman, tersangka provokator penyerangan AKKBB di Monas tanggal 1 Juni kemarin, supaya sadar seperti dulu. Cukup berang juga saya melihat aksi brutal FPI di Monas kemarin. Entah setan mana yang merasuki mereka berbuat sedemikian sadis. Justifikasi mereka gunakan atas nama Agama pula. Atas nama surga yang mereka janjikan. BAH! Keyakinan macam apa itu?
Munarman atau Mafia Hongkong?

Tampaknya manusia-manusia seperti Habib Rizieq, Munarman, Abu Bakar Baasyir dan para pengikutnya memang tidak seharusnya dibiarkan bebas-entah dalam konteks apa pun. Well, sudah banyak tulisan saya yang mengkritik kiprah mereka dalam menyukseskan konflik horizontal. Rasanya saya sudah malas menulis tema yang sama lagi.

Berhubung surat ini ditujukan bagi Munarman, yah dengan menyebarkan tulisan ini siapa tau doi kebetulan juga membaca surat ini. Karena yang namanya amanah, bagaimanapun juga harus disampaikan toh?
Hehehe. . .

P.S. Foto di atas sengaja saya pilih karena malas mengunduh google picture lebih jauh lagi (mengunduuhhh!!!) . Tampak memang Munarman atau lebih mirip Mafia Hongkong? Mafia Arab mungkin? Pejuang Laskar Al-Munafikun? Cik atuhlah ngaca da sia teh euweuh kabeungeutan jadi orang Arab!

SURAT UNTUK MUNARMAN

Havel dan Kafka,

Ini kali bukan kisah untuk kalian. Tapi, sepucuk salam untuk seseorang bernama Munarman.

—————-

Assalamualaikum,

Munarman, apa kabar? Saya dengar, polisi sudah mencari Anda. Mudah-mudahan sehat selalu. Jaga fisik senantiasa. Bukankah itu modal utama Anda belakangan ini?! Hal yang Anda sebut “perjuangan” mungkin masih akan panjang.

Nah, soal catatan kiprah Anda di ranah publik, agaknya belum cukup panjang. Saya ingat bahwa Anda pernah menjadi Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras). Anda menggantikan almarhum Munir, yang kemudian juga menjadi korban para durjana. Anda sendiri memasuki lingkungan LSM sejak 1995 saat menjadi relawan di LBH Palembang.

Lepas dari lingkungan LSM hukum, belakangan Anda bergabung dengan Hizbut Tahrir Indonesia–sebuah organisasi massa yang relatif jauh dari praktik kekerasan. Tapi, Ahad lalu, saya lihat Anda memimpin segerombolan orang yang dengan bersemangat menghajar sekelompok orang. Tak ada perlawanan sama sekali dari pihak yang diserang. Darah bercucuran dari kepala. Wajah yang bengap. Tulang hidung yang patah. Seorang perempuan menderita gegar otak. Ya, seorang perempuan–kaum yang melahirkan kita.

Munarman, saya masih ingat, Anda pernah menjadi Koordinator Kontras. Kini, Anda menjelma pelaku kekerasan. Sungguh kontras. Sungguh saya dibelit rasa penasaran, “guncangan besar” apa yang membikin Anda bersalin watak?

Tak lama setelah insiden Monas, Anda berujar, “Kenapa mereka mengadakan aksi untuk mendukung organisasi kriminal? AKKBB juga memasang iklan di koran untuk mendukung Ahmadiyah. Itu artinya mereka menantang kami lebih dulu. Jika tidak siap perang, jangan menantang.”

Bung, setahu saya, Anda adalah seorang sarjana hukum. Bahkan, pernah memimpin Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Dengan luncuran kata-kata itu, saya kira Anda telah menaruh hukum sebagai keset, yang setiap saat Anda injak-injak, Anda rendahkan. Jika ada yang bersuara lain, itu Anda anggap sebagai ajakan berperang. Lalu, Anda pun menyerbu dengan pentungan dan tinju. Sejak kapan hukum mengenal modus penyelesaian perkara seperti itu?

Ah, soal penyelesaian perkara, saya jadi ingat satu hal. Pada 2007, Anda terjerat kasus hukum ecek-ecek. Mobil Anda diserempet taksi Blue Bird di kawasan Limo, Depok. Lalu, Anda menempuh cara ini: merampas kunci mobil, SIM pengemudi, dan STNK taksi tersebut. Kabarnya, Kejaksaan Negeri Depok menyatakan kasus ini siap disidangkan. Tapi, saya tak pernah mendengar kelanjutannya.

Di hari-hari ini, Anda agaknya sulit lolos. Aparat hukum sudah mengincar. Banyak kalangan juga mengharapkan Anda diadili. Harapan mereka: hukum ditegakkan sehingga republik ini masih layak huni, ditinggali secara beradab bin manusiawi.

Akhir kata, sejak kemarin, beredar foto Anda sedang mencekik seseorang. Tapi, Anda berkilah justru sedang menghalau seorang anggota Laskar Islam agar tak anarkis. Oke…oke…

Lalu, Anda melanjutkan, akan menyeret sejumlah media yang memajang foto itu ke polisi. TEMPO secara khusus Anda sebut. Yang mengagetkan, termuat di portal-portal berita hari ini, Anda menyeru agar Goenawan Mohamad, jurnalis senior dan pendiri TEMPO, untuk bersujud dan meminta maaf pada Anda. Bersujud?

Munarman, jangan terlalu lama mengistirahatkan akal sehat…

Wassalam.

h1

Pragmatisme Sepakbola

June 22, 2008

Demam Piala Eropa 2008 telah mulai. Orang-orang mulai sibuk mengatur jadwal untuk menyempatkan diri bergadang demi menonton tim kesayangannya berlaga di Piala Eropa. Tidak ketinggalan bahkan orang-orang yang awalnya tidak menyukai bola sekalipun berusaha terjaga semalam suntuk demi melihat aksi-aksi spektakuler bintang-bintang Eropa berlaga di lapangan hijau.

Meskipun Piala Eropa terkesan mengkotak-kotakkan kekaguman akan satu negara (bahkan bukan negaranya sendiri) dan cenderung menimbulkan solidaritas sempit tetapi justru hal itulah yang membuat sepak bola merupakan olah raga paling digemari di dunia. Semua orang dari tingkat kelas sosial manapun dapat menikmatinya karena sepak bola merupakan olah raga simple namun tetap membutuhkan konsentrasi, skill dan kekuatan fisik yang sangat tinggi. Benar-benar olah raga yang pragmatis yet demanding! Bayangkan ribuan penonton bahkan jutaan pemirsa televisi bersorak ketika anda berhasil melakukan gol pada menit-menit penentuan. Bukankah itu menjadi sebuah mimpi semua orang?

Meskipun patut disayangkan baru tadi malam tim kesayangan saya, Belanda, harus kalah di perempat final melawan Russia dengan skor telak 3-1. Belanda yang langsung menggebrak di babak penyisihan dengan menempati posisi pertama Group Neraka yaitu Group C ternyata tidak menjamin mulusnya jalan menuju Juara Piala Eropa. Tetapi bagi saya justru disitulah menariknya sepak bola. Bola itu bundar dan track record maupun banyaknya pemain bintang tidak menjamin samasekali kalau tim tersebut bakal 100% menang. Justru ketajaman skill, kualitas team work dan konsentrasi ditambah faktor keberuntungan menjadi faktor yang paling signifikan dalam menentukan menang atau kalahnya suatu Tim.

Dalam lapangan hijau semuanya mungkin terjadi. Aksi individu yang spektakuler, tangis, selebrasi, solidaritas bahkan tragedi merupakan elemen-elemen yang menyatu dalam waktu 2 kali 45 menit. Bagi saya, sepak bola adalah perjuangan murni. Bukan kompetisi yang berorientasi pada hasil akhir. Ketika sebuah tim menyuguhkan permainan terbaiknya justru disitulah letak esensi dari sebuah perjuangan meskipun tim tersebut kalah secara terhormat. Terhormat karena kekalahan tersebut menjadi sebuah pelajaran. Apa pun hasilnya, saya dapat menikmatinya selama para atlitnya bermain secara totalitas.

Bagi saya, Sepakbola merupakan manifestasi komunikasi global, sebuah pemersatu dan pragmatisme yang brillian. Sayang sekali,memang, saya tidak memiliki bakat untuk bermain sepak bola. Andaikan saya dapat memutarbalikkan waktu . . .

h1

Over Time!

May 20, 2008

Bekerja di sebuah perusahaan konsultan Manajemen dan IT memiliki tantangan tersendiri. Meskipun saya baru bekerja di perusahaan ini sekitar setengah tahun, namun banyak ilmu dan pengalaman yang tidak saya dapat di bangku kuliah. Mengenai proses adaptasi tersebut saya pikir itu hanya masalah waktu. Dimana pun kita bekerja tentu saja membutuhkan proses adaptasi. Masalah kemudian muncul ketika kita harus mengubah mindset kita dari yang tadinya hanya tahu hura-hura ketika di bangku kuliah menuju fase yang lebih profesional dan tuntutan untuk berpikir secara analitis. Tentu saja jika kita ingin benar-benar berkembang di jenjang karir yang kita pilih. Banyak buku dan referensi untuk mengatasi masalah itu seperti contohnya bukunya Stephen R. Covey yang berjudul The 8th Habit.

Banyak teman yang mengeluh ketika memasuki dunia kerja. Kita dituntut untuk lebih disiplin, bisa mengorganize diri sendiri dan mampu menghadapi tekanan demi tekanan baik dari si Bos, dateline pekerjaan maupun target penjualan. Sayangnya tidak sedikit yang mampu beradaptasi dengan hal tersebut. Meskipun patut diakui, lingkungan tempat mereka bekerja pun tidak mendukung untuk memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut. Mulai dari arogansi sang Bos, lingkungan sosial yang kurang cocok, fasilitas kantor yang tidak sufficient, sistem imbalan yang tidak memadai hingga politik kantor.

Faktor lainnya juga terdapat di diri pegawainya itu sendiri. Malas, merasa tekanan pekerjaan tidak sesuai dengan gaji dan tunjangan yang diperoleh hingga pemikiran mengenai gengsi dan harga diri yang diinjak-injak oleh Bos. Namun yang paling banyak dikeluhkan adalah mengenai tekanan pekerjaan hingga menguras fisik dan mental. Contohnya adalah lembur atau overtime work.

Menurut saya ini adalah anomali efektivitas dan efisiensi perusahaan di Indonesia. Memang betul beberapa orang yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut namun lebih banyak orang yang tidak mampu melakukannya.

Sebuah perusahaan memiliki visi dan misi tersendiri. Dia bekerja dalam sebuah sistem bisnis untuk mencari profit. Ini adalah sifat alamiah yang wajar dan tidak bisa ditawar-tawari kembali. Saya percaya hal ini pun berlaku bahkan bagi perusahaan-perusahaan non-profit seperti LSM atau NGOs. Business is Business.

Namun banyak korporasi di Indonesia tidak mampu menerapkan elemen efektivitas dan efisiensi secara memadai ke seluruh karyawannya. Dua faktor yang menyebabkan ini adalah karena keserakahan korporasi dan demi efisiensi pengeluaran sehingga korporasi tidak bersedia mengeluarkan uang lebih untuk menyewa tenaga kerja yang baru.

Korporasi juga tidak mungkin berspekulasi untuk menyewa tenaga kerja baru yang baru lulus. Meskipun mereka tahu mereka memiliki anggaran untuk melakukan pelatihan.Ini pun tidak terlepas dari ketidaktegasan regulasi pemerintah dalam mengontrol dan mengelola pajak penghasilan para eksekutif kelas kakap. Sifat konsumerisme berlebihan di Indonesia menyebabkan mereka berpikir lebih baik uang dialokasikan untuk membeli kemewahan dan berjalan-jalan ke luar negeri daripada mengembangkan kualitas SDM para pencari kerja baru. Tidak aneh pengangguran di Indonesia tahun 2007 telah mencapai sekitar 12 juta orang lebih.
Sebenarnya perusahaan tidak perlu menyuruh pegawai-pegawainya untuk lembur demi tercapainya profit yang besar. Justru hal itulah yang seharusnya dihindari perusahaan. Pekerjaan menumpuk dapat disiasati oleh perusahaan dengan cara menyewa tenaga kerja baru untuk mencegah terjadinya sistem lembur di pegawai. Sistem ini sudah dipraktekkan di negara-negara maju seperti di Australia dan New Zealand. Bahkan mereka membutuhkan tenaga kerja baru setiap tahunnya dari negara-negara tetangga karena faktor skill-shortage dan jumlah populasi yang sedikit. Bayangkan di benua sebesar Australia hanya dihuni sekitar 20.500.000 jiwa saja (data tahun 2007 dari http://www.abc.gov.au). Di Jawa sendiri jumlah populasi itu hanya setengahnya.

Memang betul, dengan menerapkan sistem tersebut maka konsekuensi logisnya adalah perusahaan harus mengeluarkan anggaran lebih untuk menyewa orang baru dan melakukan pelatihan. Secara jangka pendek mungkin praktek ini dapat merugikan perusahaan. Tetapi dalam jangka panjang profit dapat jauh melebihi perusahaan yang menerapkan sistem lembur. Tampaknya mindset seperti ini susah diterapkan di Masyarakat Indonesia karena tuntutan budaya serba Instant.

Pegawai juga manusia, secara fisik dan mental mereka memiliki keterbatasan sehingga sistem lembur justru mengurangi kemampuan total mereka dalam bekerja. Akhirnya bekerja menjadi malas-malasan dan setengah-setengah dalam menyelesaikan pekerjaan. Apalagi jika lembur tidak diikuti oleh sistem imbalan yang pantas. Pegawai menjadi merasa tidak dihargai. Hasil dan target perusahaan-meskipun tercapai-tidak akan maksimal. Pegawai menjadi merasa terbebani untuk melakukan pekerjaan berikutnya yang lebih berat. Kompetisi global menuntut mereka untuk bekerja secara totalitas tetapi juga diimbangi dengan efektivitas dan efisiensi tenaga dan pikiran. Hal ini sudah seharusnya menjadi kebijakan ideal bagi para decision-maker di sebuah Korporasi.

Bagaimanapun juga pegawai adalah manusia yang memiliki kelemahan dan harga diri. Bukan Superman! Hehehe…

h1

IBL dan Anti-Thesis Liberalisasi Olah Raga

April 4, 2008

basketball.jpgAda sebuah dunia yang sudah lama saya tinggalkan : Dunia Basket. Yup! Meskipun selalu gagal untuk menembus jenjang Divisi Utama karena memang sudah terlalu tua, dulunya saya tenggelam cukup lama di dunia ini.

Untuk porsi latihan basket yang keras dan disiplin yang dijadwalkan oleh pelatih saya di Bandung, saya tetap berusaha sekuat tenaga untuk mengikutinya secara serius dan konsisten. Rasanya seram juga mengingat-ingat kembali pengalaman mengikuti latihan-latihan tersebut.

Perjalanan karir basket saya terhenti sejak dirundung cedera berkali-kali. Mekipun saya sadar bahwa itu adalah resiko mutlak menjadi atlet namun cedera yang saya alami tampaknya tidak sepadan dengan hasil yang saya dapat baik dari segi karir masa depan maupun finansial.

Atlet di Indonesia pun jarang mendapat apresiasi positif dari pemerintah, media bahkan masyarakatnya sendiri karena miskin prestasi dan kecenderungan masyarakat kita yang pesimistis terhadap kemajuan bangsanya sendiri. Akhirnya saya berkeputusan untuk menggantung sepatu basket saya dan lebih berkonsentrasi pada pendidikan.

Namun saya tidak berhenti memperhatikan dunia olah raga basket di Indonesia. Sejak digulirnya Kompetisi tingkat nasional, Kobatama, sekitar akhir dekade 1990an hingga perubahan sistem dan nama menjadi Indonesian Basketball League (IBL) yang mulai dilaksanakan pada tahun 2003, dunia basket di Indonesia mengalami pasang surut dalam perkembangannya.

logoiblputih.jpg

Ketika pertama kali Kobatama digelar, kompetisi ini merupakan kompetisi basket nasional paling akbar di Indonesia. Mirip NBA di Amerika Serikat. Namun ketika itu masih di bawah arahan PB Perbasi (Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia).

Tahun 2003 kompetisi ini keluar dari kontrol PB Perbasi sehingga berubah nama menjadi IBL.Maksudnya untuk meraup untung sebesar-besarnya (swastanisasi). Mungkin mirip dengan teori Liberalized Market-nya Adam Smith dan John Bernard Keynes. Jadi olah raga basket disamaratakan dengan teori pasar yang dikontrol oleh konsep Invisible Hand dan seharusnya tidak dikontrol oleh pemerintah. Makin sangar kompetisi dan sumber daya, makin besar pula keuntungan yang didapat.

Dalam IBL tidak dikenal promosi-degradasi, karena liga ini memang mengacu ke liga profesional seperti NBA. Konsekuensinya, setiap klub peserta diwajibkan memiliki sarana, sistem, materi pemain, dan juga membayar franchise fee yang semacam penyertaan modal klub-klub terhadap pengelola IBL. Selain meningkatkan posisi tawar klub terhadap sponsor, adanya franchise fee dimaksudkan pula agar liga bisa meraup keuntungan.

s6301361xa8.jpg

Awalnya kompetisi IBL dilaksanakan secara meriah dan mewah. Korporasi yang didominasi oleh perusahaan Rokok dan Sabun tidak henti-hentinya berdatangan untuk mensponsori kompetisi ini. IBL nyaris sukses…NYARIS?!

Yup! Ternyata di balik kemewahan dan kemeriahan kompetisi bergengsi IBL ada sebuah blunder luar biasa yang tidak diantisipasi oleh para eksekutif IBL. Yaitu tidak adanya sistem Salary Cap seperti yang diimplementasikan di NBA. Maka yang diraih hanyalah keuntungan finansial jangka pendek.

Salary Cap merupakan sistem dimana sebuah klub diwajibkan memiliki batas anggaran belanja untuk membeli atlet. Hal ini dilakukan agar tidak ada klub yang dapat membeli atlet-atlet top secara berlebihan sehingga dapat mendominasi seluruh kompetisi. Klub-klub yang berlaga pun dapat berkompetisi secara adil dan balance. Semacam kebijakan proteksinya gitu deh.

Selain itu, ketegasan manajemen IBL dalam mengurus klub beserta atletnya pun dipertanyakan. Sebagai contoh, di NBA seorang atlet tidak dapat berpindah klub seenaknya tanpa ada izin dari manajer klubnya karena sudah terikat kontrak dan komitmen.

sumargo.jpgDi IBL justru kebalikannya, seorang atlet dapat berpindah klub seenak jidat asalkan klub tersebut memiliki bargaining position yang kuat (seperti secara finansial kuat sehingga rela membayar tinggi atlet tersebut atau klub tersebut berisi atlet-atlet top yang selalu juara).

Tidak adanya sistem salary cap diperparah dengan faktor manajerial yang buruk tersebut maka dapat ditebak bahwa dalam perjalanannya dari tahun ke tahun IBL selalu merugi secara finansial karena penonton hanya ingin menonton basket jika tim yang penuh bintang berlaga. Dan itu hanya ada satu atau dua tim saja. Sisanya dapat disebut sebagai pemain bawang.

sm-britama.jpg

Contohnya adalah Satria Muda Britama, Jakarta. Believe it or not, dalam satu tim tersebut terdapat 10 pemain nasional yang biasa berlaga di kompetisi-kompetisi Internasional seperti Sea Games. Wow! Now that only happen in Indonesia, Folks!

Dari tahun ke tahun, yang berhasil lolos ke final four hanya tim-tim “dia lagi, dia lagi!”. Kalau tidak SM Britama, Aspac Jakarta, Garuda Bandung atau Bhinekka Sritex Solo. Padahal tim yang berlaga di IBL seluruhnya ada sekitar 10 tim. Minimalis sekali yah?

Saya rindu masa-masa dimana ketika klub Aspac Jakarta yang ketika itu adalah tim terkuat di IBL dikalahkan oleh Bima Sakti Nicco Steel Malang. Bima Sakti ketika itu masih memiliki pemain kuncinya, Andrie Ekayana, sekarang justru dibeli oleh Aspac Jakarta. Atau CLS Surabaya yang mengalahkan SM Britama karena CLS ketika itu masih memiliki Rony Gunawan dan Agung Sunarko yang sekarang justru dibeli oleh SM Britama.

lolij.jpgBeruntung atlet basket senior asal Bali, I Made Sudiadyana atau Lolik masih bertahan di klubnya di Bhinneka Sritex Solo. Meskipun banyak klub-klub dari Jakarta yang ingin membelinya dengan harga selangit namun Lolik tidak ingin pindah dari klub yang telah membesarkan namanya itu. Semoga saja kesetiaannya pada perkembangan dunia olah raga Basket di Indonesia tidak luntur hanya demi uang dan fame yang biasanya ditawarkan oleh klub-klub kaya yang berdomisili di Jakarta. Salut!

Inilah anti-thesis dari sistem liberalisasi olah raga di IBL yang dilakukan tanpa adanya sebuah institusi yang dapat mengatur jalannya kompetisi tersebut. Alih-alih mendapat keuntungan maksimal, yang mereka dapat adalah kerugian total karena tidak didukung oleh regulasi yang ketat dalam mengatur sistem mereka sendiri. Cita-cita awal di level makro ternyata menjadi asimetris dengan kondisi di level mikro karena kerakusan para klub-klub bermodal besar.

Tampaknya para eksekutif dan atlet di IBL masih perlu banyak berbenah lagi demi perkembangan prestasi olah raga nasional. Jika tidak, mereka pun hanya tinggal menunggu waktu sampai bergabung bersama jutaan pengangguran terbuka di Indonesia.