Ada sebuah Teori Tolol yang baru saja saya baca dari sebuah artikel di blog orang lain. Kira-kira teorinya menyatakan seperti ini “Kecantikan seseorang berbanding terbalik dengan tingkat intelegensianya”. Arti kasarnya seperti ini: Makin cantik seseorang maka kapabilitas otaknya pun makin jongkok. Anda boleh tidak setuju terhadap teori ini.
Ini adalah teori yang lucu sekaligus kontroversial. Meskipun ada benarnya juga sih. Hehehe… Terkadang saya juga memiliki pemikiran aneh semacam ini karena pengalaman saya sebelum-sebelumnya bertemu teman-teman perempuan yang cantik luar biasa. “Penyakit cewek cantik biasanya lemot” kira-kira seperti itulah hipotesis saya. Lalu apakah ini kemudian memverifikasi teori itu menjadi teori yang absah? Apakah ada korelasi antara wajah dengan kemampuan berpikir secara logika?
Menurut saya kecantikan seseorang dan tingkat intelegensia seseorang mirip dengan bakat. Bakat adalah sesuatu yang given. Sesuatu yang udah dikasih dari sononya dan tidak bisa memilih-milih lagi. Tetapi pilihan kemudian muncul setidaknya setelah dia sadar akan kekurangannya dari dua bakat ini. Pilihan yang dimaksud adalah pilihan untuk saling melengkapi dan meningkatkan salah satu bakat yang menurutnya kurang tersebut. Estimasi saya yah sekitar pasca pubersitaslah. Saya kasih contoh deh.
Sebut saja namanya Anggi (bukan nama sebenarnya). Cewek umur 27 tahun yang sudah merasakan getir dan pahitnya hidup (loh?). Sejak umur 15 tahun, Anggi sudah mulai merasakan perubahan pada torso dan pantatnya yang semakin kencang yang berbeda dengan teman-teman sebayanya. Maklumlah doi kan anggota Cheers di SMU-nya. Fisiknya nyaris sempurna. Dengan tinggi 167 cm, kulit putih mulus dan wajah khas Sunda kontemporer, Anggi sudah pasti menjadi incaran cowok-cowok gatelan di kampusnya. Tetapi sadar bahwa cowok-cowok yang tadinya mengincarnya menjadi dingin, Anggi sadar ada sesuatu yang kurang dari dia. Bagaimana tidak? Hobinya hanya clubbing setiap hari. Setiap diajak ngobrol, Anggi hanya tahu topik yang sekarang hangat di infotainment. Ketika obrolan menjurus ke arah yang lebih serius, Anggi hanya bisa diam dan berkata “YA!” tanpa respon lebih lanjut apalagi terlibat dalam diskusi kritis dengan teman-temannya. Logika berpikirnya tidak jalan, sulit berkonsentrasi dan yang lebih parah lagi she doesn’t even know who the hell is Barack Obama!
Sejak itu, Anggi memilih untuk merubah mindset-nya. Doi sekarang mulai banyak mengasah otaknya dengan banyak membaca koran dan buku, mengisi Teka Teki Silang (TTS), berolah raga, dan menghentikan kebiasaan mengkonsumsi vetsin terlalu banyak. Modalnya pun tidak mahal. Paling banter uang habis untuk beli buku. Anggi dapat menghemat banyak karena sudah mulai mengurangi kebiasaan pergi ke club. Baginya modal utamanya hanyalah tekad. Mata Anggi mulai terbuka lebar dalam menanggapi hidup ini. Doi mulai tertarik banyak bidang yang tidak hanya berbicara tentang gosip-gosip murahan belaka.
Ternyata usahanya tidak sia-sia, cing! Lima tahun berlalu, Anggi kini berhasil meraih gelar Master dalam bidang Manajemen Rekayasa dan Produksi dari sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Bandung dan kini bekerja di sebuah Perusahaan Multinasional di Singapura.
Kesimpulan: Meskipun kemampuan otaknya standar, tetapi Anggi bukanlah orang yang diberi cacat mental dan memiliki otak terbelakang (retarded). Totally Normal! Buktinya dia bisa berkomunikasi dengan orang lain layaknya orang normal. Dia hanya tidak berminat untuk meningkatkan kemampuan otaknya karena sudah terlanjur terlena dengan pujian orang-orang akan wajah cantiknya. Menurutnya kebanggaan dirinya sudah dapat diraih hanya dengan bermodal wajah doang. Apa yang dia lakukan setelah sadar akan kekurangannya itu adalah sebuah konsekuensi logis dari kebebasan untuk menentukan pilihan. Pilihan untuk meningkatkan kemampuan otaknya yang pas-pasan. Pilihan untuk berusaha menemukan anugerah bawaan sejak lahir yang belum dia buka. Meskipun harus bekerja ekstra keras, tetapi hasilnya sudah pasti maksimal. Kini pujian tidak datang hanya karena wajahnya yang cantik, tetapi juga karena prestasi kerjanya di perusahaan tersebut.
Menurut saya, tidak ada alasan seseorang yang lahir normal untuk tidak mau bekerja keras dan belajar. Anggi hanya satu dari ratusan bahkan ribuan perempuan “good looking” lainnya yang hanya tidak memiliki bakat intelegensia yang tinggi namun sukses karena mampu menggunakan kebebasan untuk memilihnya demi meraih kebahagiaan tanpa perlu bantuan orang lain.
Nah, jika melihat kenyataan seperti itu, apakah teori tolol tersebut masih relevan?